27 September 2020

Journey of my eco enzyme

Sudah cukup lama mendengar tentang eco enzyme tapi baru kali ini akhirnya membuat sendiri untuk pertama kalinya. Tertarik sekali membuat karena selain manfaatnya banyak, EE adalah solusi praktis untuk 'membuang' sampah organik terutama dari buah. Kendalanya adalah molase karena tidak dijual umum, tapi ada yang jual online. Solusinya, molase bisa diganti gula jawa, gula aren dan sejenisnya, kecuali gula pasir karena sudah diproses kimia. 

Akhir Juli, menggunakan botol plastik bekas air mineral yang ukuran 1,5 L diisi air sebanyak 700 liter (setengahnya dari kapasitas botol), molase 70 gram dan sisa kulit-kulit buah 210 gram. Takaran ini mengikuti rumus dari sang pencetus eco enzyme yaitu Dr. Rosukon Poompanvong dari Thailand. Rumusnya adalah 1:3:10 rinciannya 1 bagian molase, 3 bagian sampah organik dan 10 bagian air bersih, disimpan di wadah tertutup rapat selama 90 hari. Proses anaerob, sama sekali nggak boleh kemasukan udara karena bisa kemasukan bakteri jahat.

Eco enzyme ini fermentasi sehingga menghasilkan gas jadi tiap hari botol harus dibuka tutupnya untuk membuang gas. Mulai hari kedua, gas nya tambah banyak jadi sehari bisa 4x buka tutup buang gas. Lama-lama jadi tiap dua jam sekali buang gas. Pernah lho kelewat satu jam, pas buka tutupnya sampe ada suara ledakan kencang, boom! Wah beneran bikin kaget tapi untung banget isinya nggak keluar banyak atau muncrat, jadi aman. Baru hari kelima gas nya sedikit, dan di minggu kedua udah aman gak perlu buka tutup botol lagi.  

Sampah organik dibantu pembusukannya pake gula, karena bakteri itu makannya gula jadi biar berkembang biak. Dalam proses fermentasinya akan mengeluarkan gas waktu awal-awal. Kalau pake wadah dengan lubang kecil lebih beresiko dibandingkan dengan wadah dengan lubang besar seperti ember atau toples. Banyak sekali yang bercerita botol plastiknya meledak dari yang rendah ledakannya sampai yang heboh hahaha... Untungnya punya saya aman gak sampe meledak tapi ya itu tiap 2 jam sekali harus buka tutup, meskipun tengah malam sampe subuh pun bangun buat buka tutup hahaha... 

Akhirnya kloter EE berikutnya saya pake toples plastik yang biasa buat simpen krupuk itu lho, lumayan kedap tutupnya. Jadi EE ini harus ditutup rapat sampai 3 bulan, baru bisa dipanen. Ini penampakannya. Banyak kulit lemon dan pisang di rumah, kebetulan ada kulit semangka juga, langsung jadi 2 toples. Ini kapasitas toplesnya 10 liter jadi saya isi airnya 5 liter, molase 500 gram dan BO 1,5 KG.

Berikutnya, saya coba pake ember plastik bekas klorin (kurang lebih seukuran ember cat yang besar). Saya beli ember bekas klorin di kolam renang Abadi, jl Setiabudi. Kapasitasnya 25 kilogram. Saya isi air 12 liter, molase 1,2 KG dan BO 3,6 KG. Saya tutup pake plastik kresek dan ikat dengan tali rafia supaya kedap udara, karena tutupnya cuman nempel doang ternyata. 

Per hari ini saya udah bikin 4 ember bekas klorin, 2 toples krupuk dan 2 botol air mineral. Panennya mulai bulan nopember nanti. Semoga hasilnya bagus semua, sesuai standar EE yang bagus. 

Senang sekali membuat EE ini karena bisa memanfaatkan sampah organik. Kalo ditotal sampah organik yang saya pake untuk EE ini 17.820 gram alias 17 kilogram lebih. Rasanya puas bisa membantu bumi dengan cara tidak membuang sampah ke TPA. Plus dapat untung, menghasilkan EE yang manfaatnya banyak sekali. Bayangkan seandainya 17 kilogram lebih sampah organik itu saya buang gitu aja ke tempat sampah, cuman jadi limbah tak berguna, bau, kotor, bikin banjir mungkin, karena pengelolaan sampah tidak benar di TPA. Double ruginya kan? Sadar nggak sih kalo kita buang sampah ke tempat sampah itu bukan solusi, karena kita hanya memindahkan sampah doang dari tempat sampah di rumah ke TPA. Di TPA, sampah-sampah itu hanya ditumpuk aja, bercampur pula yang organik dengan non organik, sehingga menghasilkan polusi gas metana.

Selain dijadikan EE, saya menggunakan sampah organik sebagai pupuk. Macam-macam cara yang saya gunakan. Dari dicampur dengan tanah sehingga jadi kompos, dibuat pupuk cair dengan dibiarkan di dalam ember sampe jadi air lindi, dan ada yang langsung saya timbun di pot tanaman saya untuk penyubur tanaman. So far semuanya jadi dan bermanfaat. Tanaman saya lumayan subur-subur. Sekarang saya jadi senang berkebun, padahal niat awalnya hanya ingin 'membuang' sampah organik dengan cara yang menguntungkan saja, nggak ke tempat sampah lagi. Nanti deh saya cerita tentang kebun di rumah saya. 

Kalo kamu, sudah mengelola sampah di rumahmu dengan cara yang lebih bermanfaat atau belum?

No comments:

Post a Comment